.

.

Kamis, 07 Agustus 2014

Pesta Pasti Berakhir


Dulu ketika baru menapak usia remaja, pernah saya dibuai kehidupan yang penuh fatamorgana. Terpesona legit dunia yang ditawarkan lewat tetes mirasantika. Sesekali pula akal menjadi lena sebab remah bunga-bunga ganja. Maklum, geliat darah muda kadang membuat seseorang lupa akan masa depannya. Fase kehidupan yang tak harus terlalu disesalkan, tapi justru dijadikan pelajaran untuk langkah saya ke depan.

Sekian waktu dimabuk akan euphoria kesenangan, kesadaran itu akhirnya jua datang. Sadar jika hidup ini tak boleh dilakoni dengan terlalu santai. Sesegera mungkin saya harus melakukan pembaharuan. Rujuk dengan nurani dan tak mau berkompromi lagi dengan keegoisan, agar diri tak terus-terusan menjadi seorang pengangguran. Meski kadang ada semacam rasa minder pada potensi diri. Yah semacam rasa tak percaya diri pada ijasah yang dimiliki dan hanya menjadikannya bak tahi lalat pemanis wajah saja. Namun, mau tidak mau selembar surat cerai harus saya beri pada semua pikiran yang tengah membebani. Membuang segala paradigma negatif untuk menyongsong masa depan ke arah yang lebih positif.

Dengan modal Bismillah saya pun mencoba menyabung nasib pada sebuah kota bernama Jakarta. Sayang sungguh disayang, glamornya ibukota ternyata tak membuat gemerlap pula nasib saya. Sebuah kondisi yang membuat stres dan memaksa  saya untuk segera stop menjadi bagian kaum urban. Pulang ke kampung halaman dengan membawa kegagalan.

Orang tua bilang habis gelap terbitlah terang, pun demikian roda kehidupan kita. Adakalanya romantika hidup ini terasa pedih bak orang patah hati. Kadang setelahnya  justru manis yang akan terasa. Demikian halnya kehidupan saya, pengalaman pahit di perantauan telah saya jadikan pelajaran. Jika banyak jalan menuju Roma selama kita mau berusaha. Di mana pun tempatnya, sepanjang ada kegigihan melakukan perjuangan dan doa, insya Allah kelak kita pun akan menuai hasilnya.

Kini, lewat internet, babak baru kehidupan tengah saya lakoni. Dunia maya adalah tempat baru bagi saya untuk berkarya  sekaligus mencari rejeki di dalamnya. Terus berpacu seiring waktu. Berkompetisi  di tengah persaingan yang serba modern. Di sini ada 1001 macam cara untuk mencari makan. Hitam, putih hingga abu-abu, semua tersedia. Mulai yang halal sampai yang haram. Dari bisnis investasi, pornografi hingga judi, semua terserah kita yang menjalani. Jadi saya harus belajar dan pandai memilah agar rejeki itu benar-benar menjadi berkah. Saya tak mau setiap sen rupiah yang di dapat kelak di akhirat menjadi keramat. Membuat diri kualat, sebab ketika meraih di dunia memakai cara yang laknat.

Sebagai bujangan tentu saya memiliki impian seperti lelaki kebanyakan. Hidup berdamping dengan seorang wanita hingga menutup mata.  Tak harus dia seorang primadona desa, tapi semoga saja dia seorang wanita shaleha.  Meski tak  pandai dalam urusan pantun cinta, tapi dalam rana duka dia pun selalu ada. Mencari dan terus mencari hingga panah dewa Amor menghujam hati. Sabar menanti sembari terus melakukan reformasi diri sebelum cincin kawin benar-benar telah melingkar di jemari.

Ah, jika dirasa hidup ini berjalan dengan begitu singkatnya. Rasanya baru kemarin diri ini hanya seorang bocah yang acapkali menerima petuah. Sekarang sebaliknya giliran saya memberi pantun pinuntun kepada yang lebih muda. Saling berbagi cerita tentang asam garam kehidupan, agar kelak mereka tak turut kehilangan tongkat seperti yang dulu saya lakukan.

Jika dirasa  dunia ini hanya tempat singgah sementara saja. Hanya datang untuk pergi, menuju tempat kita yang benar-benar hakiki. Kanan atau kiri, masing-masing dari kita tiada akan pernah mengetahui. Kecuali Tuhan saja yang Maha Tahu tempat paling layak untuk kita huni nanti.  Mungkin yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalkan agar diri terjauh dari dosa dan kezaliman. Menutup lobang dosa yang telah kita lakukan dengan pahala kebajikan. Yah, hanya bisa gali lobang tutup lobang, begitu seterusnya.

Semoga saja sebelum benar-benar menjadi sebujur bangkai, kita senantiasa berlomba untuk memburu harum wangi bunga surga. Menjadi insan yang penuh manfaat nan berkah. Menyongsong hari tua tanpa harus mandul berkarya serta berbagi untuk sesama. Mengisi di setiap aspek kehidupan dengan iringan suara gendang kebaikan semata ridho Tuhan. Lalu mati dengan Lailaahaillallah sebagai satu-satunya lafal terakhir yang terucap di lidah.

Semoga pula ketika usia telah menapak senja kita bisa menjadi layaknya sebuah gitar tua. Renta tapi masih mampu melantunkan melodi cinta di setiap indra dengar sekelilingnya. Apa dan siapapun diri kita. Gagah dan sehebat apa pun status sosial kita. Semenarik dan seindah apa pun dasi dan gincu yang menghias diri kita. Semua itu fana, sebab kelak pesta pasti berakhir.



Note : Artikel ini dibuat dengan komposisi 64 judul lagu-lagu ciptaan Rhoma Irama, spesial buat Brigjen Abdul Cholik di ultah ke-64. Sugeng Tanggap Warsa Pakde... Salam Dangdut !

Senin, 21 Juli 2014

Jangan Mudah Diadu Domba


Assalamu'alaikum Dangduters ! Apa kabar? Lama juga sepertinya tiada hidangan yang tersaji di Kafedut ini. Bagaimana dengan puasa Anda? Bagaimana pula dengan kabar dunia maya? Masihkah riuh ramai dengan  pemilihan presiden Indonesia?

Ramadhan kali ini beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Nuansa religi sedikit terusik sebab pilpres 9 Juli. Para tim sukses yang sudah bergerilya jauh-jauh sebelumnya, terlihat makin mengerahkan segala daya untuk mengemis suara dari rakyat jelata.

Setali tiga uang pula dengan media. Terlihat makin mengeraskan corong suara kepentingannya. Memoles judul sedemikian rupa agar menarik minat para pembaca. Tak harus apa adanya, sebab menambah atau mengurangi isi itu tergantung seberapa banyak komisi yang mereka kantongi. Jika perlu mereka tulis berita-berita palsu. Tanpa pernah peduli kotak komentar mereka penuh dengan para pendukung capres yang tengah berseteru.

Akar rumput pun mulai turut terprovokasi. Saling sibuk memajang temuan-temuan mereka di dunia maya lewat jejaring sosialnya. Bangga jika berita tentang jagoannya sesuai dengan jalan pikir mereka. Sebaliknya, mereka pun tak segan membela, manakala mendapati jejaring sosial temannya memajang berita yang mendiskreditkan jagoannya. Bahkan tak jarang unfollow dan unfriend menjadi harga mati, sebab menganggap pandangan politik teman mereka telah melukai hati.

Bulan Ramadhan tak hanya kurma yang mudah ditemukan. Para komentator abal-abal pun semakin mudah ditemui. Bersliweran di hampir semua kotak komentar media yang ada. Membuat naik pitam para pembaca lewat komentarnya. Membuat panas kondisi atau dengan cara menghasut  emosi para pembaca agar ikut tersulut. Seakan menjadikan pembaca layaknya sekerumunan domba yang tengah diadu serigala.

Sebentar lagi Indonesia akan memasuki babak baru. KPU akan mengumumkan siapa kandidat yang berhak menjadi presiden Indonesia berikutnya. Semoga saja semua pihak bisa menerima keputusan dengan besar hati. Menang tanpa harus jumawa. Kalah meski pula lapang dada. Semoga kita semua saling menyadari jika pilpres hanyalah cara untuk menentukan siapa pemimpin Indonesia ke depan. Bukanlah ajang pertarungan yang memecah irama persatuan.

Semoga akar rumput  mau pula menerima siapapun nanti presidennya. Jangan sampai malah menjadi domba-domba tumbal para serigala politik kita. Jangan sampai kita mau diadu domba, sebab politik itu sulit diterka arah goyangannya. Sekarang bisa saja nampak perbedaan nada politik di antara mereka. Namun bisa jadi esok hari justru mereka bergoyang bersama dalam satu irama.

Yuk ah, kita kembalikan lagi harmoni irama berbangsa kita dalam satu nada. Melupakan semua perbedaan-perbedaan yang telah ada. Lupakan  ketukan gendang tim sukses dan elit politik yang tak beraturan. Lupakan raungan gitar media yang membuat bising telinga. Lupa pula dengan suara tamborin para komentator yang suka menghasut kita. Sikapilah perbedaan ini dengan bijak dan dewasa layaknya saya dan Rhoma Irama. Yah, 9 Juli kemarin  mungkin kami berbeda dalam hal pilihan angka, tapi tentunya tidak dengan hati kami berdua. Masih tetap satu hati sebangsa, sedangdut dan seirama.

Salam Dangdut !